TEMPO.CO, Jakarta - Dengan reputasi yang dimilikinya selama ini, sebenarnya Carlo Ancelotti bisa seperti menempuh risiko yang berbahaya dengan menerima tawaran menjadi manajer Everton.
Pasalnya, setelah David Moyes bertahan begitu lama di Everton 2002-2013 dan membawa klub berjuluk The Toffees ini terus bertahan di papan atas-tengah Liga Primer Inggris –meski miskin trofi-, para penggantinya yang punya nama besar dan sebelumnya berpretasi akhirnya seperti terkubur di klub yang bermarkas di Stadion Goodison Park, Liverpool, itu.
Secara berurutan Roberto Martinez, Ronald Koeman, dan terakhir Maurco Silva harus menyandang status dipecat ketika meninggalkan Everton.
Menariknya Martinez dan Koeman –kecuali Silva karena masih baru saja dipecat- justru meraih sukses besar setelah didepak dari Everton. Adalah Martinez yang membawa tim nasional Belgia merebut peringkat ketiga Piala Dunia 2018. Adapun Koeman membawa tim nasional Belanda menjadi finalis Liga Nasional Eropa dan meloloskan tim Oranye ini ke putaran final Piala Eropa 2020.
Sedangkan Moyes yang meninggalkan Everton karena dilamar Manchester United dengan harapan bisa meneruskan kejayaan Sir Alex Ferguson selama menangani United justru mengalami antiklimaks. Setelah dipecat United, Moyes belum bisa lagi mencuat sampai sekarang.
Akankah Everton menjadi sasaran antara buat perjalanan karier pribadi kepelatihan Ancelotti seperti dialami Koeman atau Martinez? Atau, kelak pemain legendaris AC Milan dan Italia tersebut akan “terkubur” seperti Moyes setelah menangani Everton?
Mengapa pria Italia berusia 60 tahun yang sudah merasakan gelar juara Liga Champions dan Liga Primer Inggris lebih memilih Everton dibandingkan Arsenal?
Berdasarkan beberapa ulasan di media-media di Eropa, ada pendapat bahwa Ancelotti ingin mendapat kendali penuh dalam mengelola tim. Sementara di Arsenal sepeninggal Arsene Wenger, fungsi manajer tim direduksi menjadi sebatas pelatih kepala.
Hal itu yang tidak dikehendaki Carlo Ancelotti. Untuk kasus Everton, Ancelotti memang perlu kendali penuh dalam membangun skuad, terutama dalam soal penentuan jual-beli pemain.
Dengan berada di dekat zona degradasi setelah 17 pertandingan, yaitu urutan ke-16 dari 20 klub Liga Primer, Everton tampaknya membutuhkan pembenahan total dalam soal pemain.
Carlo Ancelotti tampaknya ingin berpetualang pada klub medioker –berbeda dari klub-klub yang diasuhnya dulu- untuk diubahkan menjadi klub raksasa. Ia mengambil risiko, bisa sukses atau gagal dan kemudian dipecat.