TEMPO.CO, Jakarta - Jika pemilik baru Newcastle United, Mohammad bin Salman dan kawan-kawan, ingin merekrut pemain sekelas Antoine Griezmann, Timo Werner, dan mendatangkan pelatih sekaliber Mauricio Pochettino dan Massimilliano Allegri, mereka harus mencari cara meningkatkan pemasukan mereka sebagai klub olahraga secara tepat.
Pasalnya, dengan adanya peraturan Financial Fair Play (FPP) dari badan sepak bola Eropa, UEFA, Newcatle United tidak diperbolehkan menggelontorkan ratusan juta pound sterling tanpa bisa membuktikan bahwa uang itu berada dari kegiatan olahraga yang sah dan pemasukan komersial.
Kabar gembiranya untuk Newcastle United adalah bahwa mereka masih memiliki banyak ruang untuk berkembang dari segi komersial.
Ketika pengusaha toko eceran asal Inggris, Mike Ashley, membeli klub ini pada 2007, pemasukan komersial Newcastle adalah 27,6 juta pound sterling setahun atau setara Rp 530,51 miliar.
Pada akhir Juni 2018, pendapatan itu menurun 26,7 juta pound. Pada periode yang sama, keuntungan Manchester United menurun dari 58,1 juta menjadi 27,6 juta pound.
Pada 1999, Deloitte & Touche menempatkan Newcastle di urutan kelima dalam daftar klub terkaya di dunia, dengan 49,2 juta pound. Mereka di atas Barcelona 48,57 juta pound, AC Milan (48,55), dan Liverpool (45,5m).
Hal itu menunjukkan Newcastle United seperti raksasa yang sedang tertidur dan hal itu menjadi peluang buat Pangeran Salman dan kawan-kawan untuk secepatkan membangunkan kembali kekuatan The Magpies dengan cara-cara benar sesuai regulasi FPP.
Dengan populasi penduduk hanya 268 ribu orang, Newcastle termasuk kota kecil. Tapi, gairah sepak bolanya besar dengan rata-rata penonton per musim adalah 48.248 orang dari kapasitas Stadion St Jame’s Park 52.405.
Tapi, pekerjaan rumah lain adalah memang fokus di lapangan yaitu membuat Newcastle United bisa bersaing sepert dulu lagi, ketika Kevin Keegan nyaris membawa the Magpies ini menjadi juara Liga Inggris periode 1980-an sebelum disalip Manchester United pada saat-saat terakhir.
ESPN | HARD TACKLE