TEMPO.CO, Jakarta - Putaran delapan besar Liga Champions Eropa musim ini menampilkan banyak kejutan. Manchester City menyusul tumbang dinihari tadi, Minggu 16 Agustus, di Lisabon, Portugal, setelah dikalahkan Lyon 3-2.
Baca Juga: Hasil Liga Champions: Manchester City vs Lyon 1-3, Simak 6 Fakta Menarik
Nama-nama tenar seperti Juventus, Cristiano Ronaldo, Pep Guardiola, Kevin de Bruyne, dan Raheem Sterling tak berdaya menghadapi Lyon yang hanya memiliki nama pemain tenar, Memphis Depay dan Moussa Dembele.
Nama pelatih Olympique Lyonnais –demikian nama lengkap Lyon-, Rudi Garcia, 56 tahun, yang sepanjang karier kepelatihannya menangani klub-klub Ligue 1 kecuali sekali di AS Roma 2013-2016 kalah tenar dengan Pep Guardiola dan Maurizio Sarri yang langsung dipecat Juventus begitu kalah di 16 besar.
Kini di samping dominasi Jerman, dengan Bayern Munich yang begitu perkasa menghantam Barcelona 8-2 dan RB Leipzig yang menumbangkan Atletico Madrid, bukan tak mungkin ada kejutan lagi ketika Lyon bisa bertemu dengan sesama tim dari Prancis, Paris Saint-Germain, pada final.
Pada semifinal, Lyon akan menghadapi Bayern Munich dan PSG yang juga ditangani pelatih asal Jerman, Thomas Tuchel, melawan RB Leipzig.
Karena itu, di sisi lain, juga bukan tak mungkin ada pertemuan sesama Jerman pada final Liga Champions, yaitu Bayern Munich melawan RB Leipzig, mengulang pertemuan Munich melawan Borussia Dortmund beberapa musim lalu.
Yang akan benar-benar di luar dugaan jika terjadi final sesama Prancis, meski Paris Saint-Germain sudah beberapa musim ini dikenal sebagai klub raksasa di Eropa. Pasalnya, di luar PSG, kekuatan tim-tim Ligue 1 di Eropa selama ini tidak begitu dominan.
Meski demikian, Lyon mengalahkan Manchester City ini bukan hal baru, karena klub dari Ligue 1 itu pernah mengalahkan City di Etihad.
Lantas apa jadinya jika Bayern Munich ketemu RB Leipzig di final atau Lyon vs PSG atau bahkan Bayern Munich vs PSGS pun dianggap kurang menjual dari sisi komersial? Apalagi, jika Lyon menghadapi Leipzig pada partai puncak.
Basis para suporter tim-tim semifinalis ini kuat dan jumlahnya tidak sedikit. Tapi, di Indonesia, suporter sepak bola mungkin lebih akrab dengan Barcelona, Juventus, dan Manchester City. Liverpool pun, yang begitu dielukan-elukan di Indonesia, sudah jauh-jauh hari tersingkir.
Salah satu daya tarik sepak bola memang adalah unsur kejutan, meski menyakitkan. Putaran delapan besar Liga Champions Eropa musim ini mengingatkan pada Piala Dunia 1982 di Spanyol, ketika Italia dengan taktik sepak bola bertahan dan permainan kerasnya menyingkirkan Argentina dan Brasil, sebelum mengalahkan Jerman di final.
Sebagian para pecinta dan pengamat sepak bola saat itu, termasuk kolumnis terkenal Kadir Yusuf di Indonesia, menyebutnya sebagai abad kegelapan sepak bola. Saat itu nama-nama tenar Diego Maradona, Zico, Roberto Falcao, Cesas Luis Menotti, dan Mario Kempes serta Brasil dengan permainan Jogo Bonito-nya harus tumbang sebelum semifinal.
Pada masa pandemi virus corona dengan sistem turnamen, hanya satu pertandingan dari perempat sampai final di Lisabon, Lyon dan RB Leipzig mengingat pada sosok Claudio Gentile dan kawan-kawan dari Italia pada Piala Dunia 1982 itu.