“Saya kalah pada 2013 melawan Real Madrid, dan mereka kalah melawan Bayern Munchen musim ini,” kata Solbakken, yang telah meraih delapan gelar Liga Denmark selama dua periode melatih klub itu.
“Namun hanya itu dua kekalahan yang mereka alami. Saya pikir itu adalah hal yang menguatkan dan mengabadikan diri sendiri. Pada puncaknya, saya mulai berpikir kami tidak akan pernah kalah dalam pertandingan-pertandingan ini. Saat itulah kami menahan Barcelona.”
Bukan sembarang Barcelona, tapi Barcelona asuhan Pep Guardiola. Pada November 2010, Guardiola pergi ke Kopenhagen dengan tim yang memiliki Carles Puyol dan Gerard Pique di belakang, lini tengah Sergio Busquets, Xavi Hernandez dan Andres Iniesta, serta Lionel Messi dan David Villa di depan. Itu adalah tim yang kemudian memenangi Liga Champions kedua dalam tiga tahun. Sebuah tim yang dianggap oleh banyak orang sebagai klub terbaik sepanjang masa. Namun FC Copenhagen, yang mewakili Liga Super Denmark, menahan imbang mereka 1-1 di Parken.
Hasil heroik itu, dan kemenangan melawan Manchester United, bukanlah hal yang aneh. Selama berbagai petualangan mereka di Eropa, FC Copenhagen telah mengalahkan atau bermain imbang dengan klub-klub seperti Juventus, Borussia Dortmund, Ajax, Benfica, Valencia, Sevilla, FC Porto, Celtic, dan Manchester City. Ketika pasukan Guardiola mengunjungi ibu kota Denmark musim lalu dalam perjalanan meraih treble winner, mereka ditahan imbang 0-0.
Meskipun mereka tidak diunggulkan di Eropa, salah satu alasan kesuksesan tim adalah pentingnya menjaga penguasaan bola dan mencoba memainkan permainan mereka sendiri, bahkan melawan beberapa nama terbesar di benua ini.
“Tim FCK yang mengalahkan Manchester United pada 2006 memiliki pemain-pemain Skandinavia yang solid, dan kami memainkan sepak bola sesuai dengan itu,” kata Solbakken. "Organisasi pertahanan, bola mati, banyak otot. Namun seiring berkembangnya tim, kami menjadi lebih baik dan lebih baik lagi dalam penguasaan bola.”
Peter Christensen, direktur olahraga FC Copenhagen, yakin hasil positif klub di Eropa telah memberi mereka kepercayaan diri untuk bermain lebih asertif.
“Tentu saja kami underdog, tapi kami memutuskan untuk mengubah cara kami mendekati pertandingan,” katanya kepada ESPN. "Kami tidak menunggu dalam formasi bertahan 4-4-2 atau 4-5-1, kami memutuskan untuk mencobanya. Kami memutuskan untuk menggunakan pendekatan yang lebih agresif dan optimistis, serta bermain dengan lebih berani, bahkan jika kami menghadapi pemain kelas dunia.”