TEMPO.CO, Jakarta - Shin Tae-yong buka suara terhadap persoalan sulitnya Timnas Indonesia meraih trofi di kancah sepak bola Asia Tenggara atau ASEAN dan di kancah sepak bola Asia. Menurut pelatih berusia 53 tahun itu, sulitnya sepak bola Indonesia berkembang dan memenangkan sebuah turnamen tak lepas dari kualitas kompetisi dalam negeri yang belum maksimal.
"Dibanding Vietnam dan Thailand, kita jauh terbelakang. Liga 1 saja ada di peringkat enam di Asia Tenggara, lalu bagaimana kita bisa juara di ASEAN? Bukankah selama ini pemikirannya salah," ujar Shin Tae-yong dalam wawancara bersama Tempo di kawasan Senopati, Jakarta Selatan, Jumat, 2 Februari 2024.
Shin Tae-yong menyoroti adanya tuntutan untuk membawa Timnas Indonesia menjadi juara sebuah turnamen di berbagai era kepelatihan. Mengikat kontrak bersama PSSI sejak 2020, harapan publik sepak bola Indonesia terhadapnya untuk meraih trofi semakin tinggi. Apalagi, ia berhasil membawa Timnas U-20, Timnas U-23, dan Timnas Indonesia level senior berpartisipasi di Piala Asia.
Tim Merah Putih tidak pernah mengangkat trofi baik di level Asia Tenggara, Asia, apalagi dunia. Skuad Garuda terakhir kali mampu mengangkat trofi pada 2008. Itupun hanya dalam sebuah turnamen persahabatan bertajuk Piala Kemerdekaan.
Menurut Shin Tae-yong, sulitnya Indonesia meraih gelar, minimal di level ASEAN, tak lepas dari kualitas kompetisi Liga 1, kasta tertinggi kompetisi sepak bola Tanah Air. Kondisi tersebut bisa dilihat dari peringkat Liga 1 sebagai kasta tertinggi kompetisi sepak bola Tanah Air baik di kawasan ASEAN maupun di benua Asia.
Berdasarkan data AFC per Mei 2023, saat ini, Liga 1 menempati urutan keenam di Asia Tenggara dan peringkat ke-26 di Asia. Kompetisi sepak bola Indonesia masih kalah dari Thailand, Malaysia, Vietnam, bahkan Filipina.
Shin Tae-yong menilai, ketimbang berusaha mengejar trofi, sepak bola Indonesia lebih baik berfokus pada perbaikan kompetisi dan pengembangan pemain muda terlebih dahulu.
Salah satu contoh yang menjadi sorotan Shin Tae-yong adalah kebiasaan pemain dalam melakukan protes terhadap wasit yang memimpin pertandingan Liga 1. Protes membuat waktu bermain efektif atau playing time per pertandingan menjadi minim. Ini juga memberi dampak negatif ke kekuatan fisik pemain.
Ia merasakan sendiri sulitnya memiliki pemain-pemain timnas Indonesia yang dipanggil dari klub Liga 1 dengan kondisi fisik matang. Kondisi fisik yang jauh dari harapan memaksa Shin Tae-yong memberi program latihan fisik di level tim nasional yang seharusnya tidak perlu lagi dilakukan.
"Liga yang baik itu biasanya (playing time) 60 menit. Coba Indonesia berapa? Hanya 35 menit, berbeda 25 menit. Jadi Anda bisa tahu seperti apa fisik pemain saat pertandingan itu seburuk apa. Jadi, pemain tidak bisa mengikuti tempo pertandingannya," ucap mantan pelatih Korea Selatan tersebut.
"Dengan adanya pengetahuan seperti ini, penggemar harus bisa lebih paham. Media juga selalu bertanya kenapa Indonesia tidak bisa juara, padahal memang tidak ada landasan yang dimiliki untuk menjadi juara," ujar Shin Tae-yong menegaskan.
Meski begitu, Shin Tae-yong juga menyadari bahwa trofi untuk Timnas Indonesia dan para penggemarnya juga penting. "Saya tidak memikirkan AFF, tetapi lebih memikirkan AFC. Itu mimpi besar saya biar sepak bola Indonesia berkembang di Asia," ujar dia.
Shin Tae-yong menegaskan jika kompetisi sepak bola lokal baik, maka Timnas Indonesia juga akan berkembang dengan baik. Ia mengakui butuh waktu lama bagi Indonesia untuk bisa berada di level seperti Korea Selatan dan Jepang. "Namun, Indonesia memiliki potensi untuk menuju ke arah sana," katanya.
Pilihan Editor: Kritik Shin Tae-yong untuk Liga Indonesia: Pemain Hobi Protes ke Wasit hingga Waktu Bermain yang Minim