TEMPO.CO, Jakarta - Final piala eropa 2016 antara Prancis dan Portugal akan digelar di Paris, Senin pukul 02.00 waktu Indonesia Barat nanti. Sulit untuk menebak siapa yang akan juara. Bagi setiap warga negara peserta final tentu berharap negaranya yang akan menjadi nomor wahid di Eropa selama empat tahun ke depan.
Tak terkecuali dengan bekas punggawa Prancis, David Trezeguet. Peraih gelar juara dunia 1998 dan juara Eropa 2000 tersebut yakin tim asuhan kompatriot dulu Didier Deschamps bisa menambah prestasi tim ayam jantan tersebut. Kepada kantor berita Prancis Le Figaro bekas pesepak bola berusia 38 tahun itu, membeberkan prediksi dan kenangan kesuksesannya bersama tim prancis lebih dari sedekade silam. Berikut petikan wawancaranya yang dimuat pada Sabtu waktu setempat.
Prancis ada di final piala Eropa 2016, bagaimana perasaan anda?
Sangat bahagia. Kita semua tahu timnas sukses ke final dengan catatan yang luar biasa. Hari Minggu ini akan menyenangkan.
Anda sudah dua kali berada di final turnamen besar, final ini mengingatkan anda dengan final yang mana?
Ini seperti final piala dunia tahun 1998. Kami tidak menjadi tim unggulan tapi bisa memenanginya dengan mengalahkan Brazil di final. Sekarang, Deschamps dan timnya juga melewati perjalanan yang sama seperti waktu itu.
Bagaimana dengan final piala Eropa 2000?
Itu juga momen yang tak kalah berharga. Tendangan kaki kiri saya melesak mulus di sudut gawang. Gol yang indah bukan?
Apa rasanya menjuarai piala dunia dan piala eropa bersama timnas?
Sangat unik, terutama ketika kami juara dunia. Seluruh negeri berhagia terhadap timnas. Publik dengan bahagia mengiringi pesta kemenangan kami sepanjang jalan Champs-Elysees. Tidak bisa dilupakan.
Siapa rekan setim anda yang dijadikan panutan?
Banyak, tapi saya paling tak bisa melupakan Zinedine Zidane. Setelah Michel Platini, Zizou adalah panutan. Hingga kini namanya bak mitologi bagi sepak bola Prancis.
Apa kenangan terburuk anda selama 10 tahun membela timnas?
Final piala dunia 2006. Tak hanya kegagalan saya menendang pinalti, tapi saya memang tak akur dan berbeda visi dengan Raymond Domenech. Akibatnya saya tidak bisa berkontribusi banyak pada turnamen itu.
Performa anda dikatakan terlalu cepat menurun sehingga tak layak masuk timnas pada piala Eropa 2008?
Tentu itu sangat menyedihkan. Padahal saya masih membela Juventus saat itu. Tim yang super kuat. Tapi Raymond malah memanggil Nicholas Anelka yang bermain untuk Bolton, ataupun Befetimbi Gomis dari Saint Ettienne. Tapi buat saya keputusan itu harus dihormati.
ANDI IBNU | LE FIGARO