TEMPO.CO, Jakarta - Manchester United akan tampil di kandang Leicester City, Stadion King Power, pada rangkaian pekan ke-25 Liga Primer Inggris malam ini, Minggu, 4 Februari 2019.
Kemudian, pada dihari nanti, juga terjadi partai besar antara juara bertahan Manchester City menjamu Arsenal di Stadion Etihad.
Dua pertandingan ini memiliki hubungan penting. Pasalnya, Manchester United sekarang yang menempati peringkat keenam hanya berjarak dua angka dari urutan kelima Arsenal.
Setelah lama terpaku di urutan keenam dan di luar lima besar di bawah asuhan manajer Jose Mourinho, yang kini sudah dipecat, dan seusai mencatat rekor 9 kali tak terkalahkan secara beruntun dipimpin Ole Gunnar Solskjaer, malam dan dinihari nanti, Manchester United menunggu momentum yang penting.
Jika hasil dua pertandingan tersebut memberi jalan Manchester United untuk menembus lima besar, tentu akan sangat berarti secara psikologis maupun teknis kepada United dan Solskjaer, sebagai manajer sementara.
Memang sudah ada kabar yang beredar di sejumlah media di Inggris bahwa Solskjaer akan ditetapkan sebagai manajer tetap –biasanya dengan kontrak minimal sampai musim depan, 2019-20- jika Manchester United berhasil menyingkirkan Paris Saint-Germain dalam dua pertandingan babak 16 besar Liga Champions pada 2 Maret 2019 di Old Trafford dan 7 Maret berikutnya di Paris.
Setelah Ole Gunnar Solskjaer menyambar umpan David Beckham untuk membobol gawang Bayern Munich pada injury time (tambahan waktu setelah 90 menit) pada final Liga Champions Eropa 1999 di Stadion Camp Nou, Barcelona, Manchester United memang belum pernah menjuarai ajang paling bergengsi di Eropa –dan, juga di dunia- itu sampai sekarang.
Saat tandukan Teddy Sheringham dan sambaran Ole Gunnar Solskjaer di Camp Nou yang membalikkan keadaan dalam sekejap untuk kemenangan 2-1 dari Bayern, The Reds Devils saat itu mengakhiri masa penantian panjang selama 31 tahun untuk merebut piala puncak kejuaraan di Eropa itu.
Jadi, bisa dibayangkan betapa bergengsi dan berartinya Liga Champions bagi Manchester United dan perjalanan karier para manajer di Old Trafford.
Bila melihat sejarah kedekatan Ole Gunnar Solkjaer dengan Manchester United, sebagai pemain maupun pelatih, dan terutama dengan Sir Alex Ferguson, manajer 1999, Solkjaer meraih modal spirit yang sangat luar biasa untuk mengembalikan sejarah Setan Merah ini di Eropa.
Tapi, untuk sampai ke Liga Champions, Ole Gunnar Solskjaer butuh pijakan untuk melenting lebih tinggi. Dan, pijakan itu ada pada partai genting di kandang Leicester City malam ini.
Bisa mengalahkan Leicester yang mampu mengimbangi pemimpin klasemen Liverpool, 1-1, malam nanti tentu akan sangat bermakna buat Ole Gunnar Solskjaer dan pemainnya. Apalagi, jika sampai Arsenal dinihari nanti kalah.
Ole Gunnar Solskjaer mendapat peluang untuk mengakhiri semacam abad kegelapan atau serupa masa kesalam pada abad pertengahan di Manchester United, sejak ditinggalkan Sir Alex Ferguson yang memutuskan pensiun.
Para manajer tetap pengganti Alex Ferguson, yaitu David Moyes, Louis Van Gaal, dan terakhir Jose “Special One” Mourinho, pada akhirnya harus dipecat karena gagal mengembalikan kejayaan Setan Merah di Liga Champions Eropa dan Liga Primer Inggris. Gelar juara Liga Europa yang dipersembahkan Mourinho hanya memberi perpanjangan beberapa lama dalam kontraknya, sebelum ia diusir pergi pada Desember 2018.
Delapan kemenangan dalam 8 laga perdana sejauh ini baru Solskjaer sebagai satu-satunya manajer Manchester Unted yang bisa melakukan hal itu.
Secara teknik kepelatihan dan strategi kemanajeran, menurut sejumlah analisa yang bertebaran di media Inggris, tidak ada yang istimewa, luar biasa, atau pun gebrakan revolusioner yang dibuat Ole Gunnar Solskjaer di Old Trafford.
Tapi, bisa jadi adal yang jauh lebih penting dari sekadar urusan teknis, yakni Ole Gunnar Solskjaer mengembalilan kegembiraan di kalangan pemain Manchester United yang telah hilang selepas Ferguson. Dan, suasana tertekan itu akibat krisis kewibawaan David Moyes dan kepemimpinan otoriter menindas dari Van Gaal serta Mourinho di Old Trafford.
Sebagai mantan pemain –apalagi di klub sebesar Manchester United dengan julukan Babby Assasin- Ole Gunnar Solskajer memimpin Paul Pogba, Marcus Rashsford, Jesse Lingard, Victor Lindelof, Rome Lukaku, Alexis Sanchez, David de Gea, dan para pemain Red Devils lainnya dengan cara yang lebih fleksibel.
Ole Gunnar Solskjaer tahu bagaimana rasanya menjadi pemain yang harus berdarah-darah di lapangan. Karena itu, ia memberi kelegaan, kebebasan, dan dorongan motivasi yang luar biasa buat Pogba dan kawan-kawan.
Tapi, sebagaimana cerita tentang Liverpool, Manchester City, dan Chelsea yang disanjung tinggi ketika sedang tak terkalahkan musim ini sebelum akhirnya tumbang juga, akan ada masanya Ole Gunnar Solskjaer harus menghadapi hal itu di Manchester United.
Hukum gravitasi manusia tersebut jika belum dialami Ole Gunnar Solskjaer di Manchester United malam ini, akan memberikan kesempatan kepadanya untuk merintis jalan karier semegah sang gurunya: Sir Alex Ferguson.