TEMPO.CO, Jakarta - Seperti Barcelona setelah dihajar Bayern Munich 8-2 di Liga Champions, Sabtu lalu, pemain Manchester United yang layak dipertahankan setelah dijegal Sevilla 2-1 pada semifinal Liga Europa di Cologne, Jerman, dinihari tadi, mungkin hanya sedikit dan itu termasuk “darah segar”, Bruno Fernandes.
Baca Juga: Manchester United Kandang di Liga Europa, Solskjaer Ungkap Rencana Perkuat Skuad
Selain labil di lini depan, mungkin yang paling parah adalah di lini belakang. Ini bisa jadi problem paling rumit di Manchester United sejak ditinggalkan Sir Alex Ferguson.
Melihat bagaimana Victor Lindenlof yang begitu teledor membiarkan ujung tombak Sevilla, Luuk de Jong, untuk menyambut umpan silang Jesus Navas buat menjebol gawang United pada menit ke-78, sungguh memprihantikan.
Tapi, Lindelof tak pantas jadi sasaran utama kesalahan. Di mana waktu itu pasangannya di bek tengah sekaligus kapten tim, Harry Maguire? Koordinasinya dengan dengan bek sayap, Aaron Wan-Bisaka dan Brandon Williams, juga di bawah standar dinihari tadi.
Koran Manchester Evening News, misalnya, memberi nilai untuk Aaron Wan-Bisaka, Victor Lindelof, Harry Maguire, dan Brandon Williams dalam skalad 1 sampai 10 adalah 4, 6, 5, dan 4. Nilai paling tinggi dari para pemain Setan Merah tampil dinihari tadi, itupun hanya 7 diraih Bruno Fernandes.
Belum ada lagi sosok setegar dan selugas dengan visi permainan yang baik sebagai bek tengah seperti Jaap Stam, Nemanja Vidic, atau Rio Ferdinand yang bergerak seperti penari balet tapi kukuh itu.
Pada era dulu format 4 bek sejajar pernah dianggap aib karena dinilai tidak punya kedalaman dan dikritik riskan diterobos tanpa sempat menyiapkan jebakan offside.
Menariknya pola kuartet sejajar yang sudah lama dipakai di Inggris sejak era kick and rush, kemudian direvitalisasi menjadi sistem pertahanan sepak bola modern.
Adalah Arrigo Sachi, salah satu pelatih legendaris di AC Milan, yang kemudian mengintrodusir formasi empat bek sejajar sewaktu menangani tim nasional Italia.
Pada era sepak bola mutakhir, nyaris tak ada lagi yang memakai formasi du bek tengah, dengan yang satu sedikit beri depan yang lain atau yang satu berperan libero atau freeback dan satu lagi sebagai stopper.
Pada era dulu berkat sistem pertahanan Italia, catenaccio, posisi libero dan stopper ini dipakai dalam formasi grendel atau gembok 5-3-2.
Sekarang dua bek tengah dituntut lengkap punya kemampuan sebagai libero atau freeback sekalipus stopper atau sweapper.
Sekarang dalam sepak bola modern, dibalik 3-5-2 dalam formasi 3 bek sejajar dan gelandang di kedua sisi akan turun sebagai bek sayap jika ditekan lawan. Formasi 3-5-2 bertolak dari keyakinan untuk memenangi pertandingan, lini tengah harus didominasi. Tapi, dengan 3-5-2, Pep Guardiola dikritik habis-habisan oleh sebagian besar media Inggris karena dikalahkan Lyon 3-1 pada perempat final Liga Champions di Stadion Benfica, Lisabon, Minggu dinihari, 16 Agustus 2020.
Pep Guardiola dinilai terlalu takut untuk tidak memang fomasi tradisinya sejak dari Barcelona, yaitu 4-3-3. Ini juga dipakai Sacchi di tim Italia dulu, Paolo Maldini dan kawan-kawan dari belakang bergerak ke depan untuk menekan dan menyiapkan perangkap jebakan offiside.
Adapun jebakan offside ini diperkenalkan Rinus Michels di Ajax Amsterdam ketika melahirkan konsep total football. Jejaknya bisa dilihat saat Ajax melakukan pertandingan ekshibisi di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta, periode 1970-an, yaitu Ruud Krol –bek tengah Belanda yang elegan di Piala Dunia 1978- dan kawan-kawan.
Manchester United perlu mencontoh kejelian Liverpool dalam merekrut bek tengah sekelas Virgil van Dijk. Kalau pun Harry Magueire dipertahankan –karena sudah dibeli sangat mahal-, United perlu membeli bek tengah baru untuk meningkatkan suasana yang lebih kompetitif buat Victor Lindelof dan kawan-kawan di lini belakang.