TEMPO.CO, Jakarta - Juergen Klopp menjadi sorotan pada Ahad malam. Tak hanya karena ia baru mengalami kekalahan pertamanya bersama Liverpool, saat ditekuk Crystal Palace 2-1 di Anfield, tapi juga karena ia mengutarakan perasaannya soal perilaku suporter. "Saya merasa sangat kesepian ketika para suporter pergi," kata pelatih asal Jerman itu.
Ia memang kaget melihat banyak suporter Liverpool pergi meninggalkan stadion setelah Palace mencetak gol kedua, pada menit ke-82. Padahal masih ada delapan bahkan mungkin sepuluh menit sisa pertandingan. Sebegitu putus asakah para suporter sehingga menganggap Liverpool pasti akan kalah?
Amy Lawrence, kolumnis di surat kabar The Guardian, menilai keheranan Klopp itu tak mengejutkan. Itu adalah bagian dari kejutan budaya yang dialami mantan pelatih Borussia Dortmund itu, yang di klub lamanya melihat suporter terus mendukung timnya hingga pluit akhir tak peduli apa pun hasilnya. Bagi kebanyakan orang Inggris, kelakuan para suporter Liverpool itu tak mengherankan, bahkan juga terjadi pada laga besar seperti Arsenal melawan Tottenham Hotspur, yang berakhir 1-1, pada hari yang sama.
Amy menyebut fenomena itu bagian dari budaya khawatir penonton Inggris. Ada suporter yang benar-benar pergi sebelum pertandingan berakhir karena tak puas dengan performa tim pujaannya. Tapi, yang lebih sering terjadi adalah mereka pergi karena alasan pribadi: khawatir terjebak dalam lautan massa saat keluar stadion, khawatir tak kebagian transportasi, juga takut terjebak kemacetan.
Tren mini eksodus di menit akhir pertandingan, kata Amy, belakangan makin menjadi tren di Liga Primer. Dan itu menjadi fenomena yang susah dimengerti. Terutama bila menimbang bahwa esensi dari melihat pertandingan adalah menyaksikan semua ketidakpastian hingga akhir, dengan kejutan-kejutan yang dijanjikannya. Jadi mengapa memilih meninggalkan laga yang berlangsung ketat lebih awal?
Wartawan Observer ini akhirnya menyimpulkan, hal itu terjadi karena terkait dengan rasa memiliki yang masih rendah di kalangan suporter Inggris. Tak seperti di Jerman yang nyaris semua penonton terlibat aktif dalam nyanyian atau koreografi di tribun, di Inggris kebanyakan suporter hanya menempatkan diri sebagai pengamat ketimbang partisipan.
Amy pun menyimpulkan, bila Klopp mengeluh merasa kesepian melihat fenomena itu, "Dia bukan satu-satunya yang mengeluhkan itu."
GUARDIAN | NURDIN