TEMPO.CO, Jakarta - Satuan Tugas Perlindungan Anak (Satgas PA) berpendapat, massa remaja pembuat kerusuhan saat final Piala Presiden pada Ahad 18 Oktober 2015 di Jakarta cenderung hanya ikut-ikutan saja.
Remaja berusia 9-17 tahun itu takut dikucilkan teman-temannya, sehingga ikut-ikutan melempari dan tawuran dengan bobotoh, sebutan bagi pendukung Persib Bandung, kata Ketua Satgas PA, Muhammad Ihsan, saat dihubungi Antara di Jakarta, Senin 19 Oktober 2015.
Sebanyak 800 orang tua telah membuat perjanjian di Mapolda agar membina masing-masing anak sehingga kejadian tersebut tidak berulang. Setelah itu orang tua boleh membawa anaknya pulang.
Menurut pengakuan orang tua yang didengar Ihsan, mereka tidak tahu anaknya ikut tawuran tersebut. Kebanyakan anak-anak remaja itu mengaku hanya akan ke acara "car free day", namun ternyata di dalam tas mereka sudah membawa baju pendukung tim sepak bola berwarna jingga.
"Sebagian anak ada yang membawa batu, bom molotov dan senjata tajam, bahkan samurai. Anak-anak itu juga sempat melawan aparat," kata Ihsan.
Anak-anak beserta orang tua telah diberi pengarahan dan pembinaan. "Selama di Polda anak-anak dikasih makanan dan orang tua mendampingi anaknya," kata Ihsan.
Menurut Ihsan, untuk mengantisipasi agar kejadian tersebut tidak terulang lagi, orang tua dan sekolah harus melakukan pembinaan agar anak tidak mudah diajak tawuran. Salah satu caranya adalah mengaktifkan kembali program wajib belajar untuk menekan anak-anak agar tidak terjerumus ke dalam dunia kriminal.
"Masalahnya di komitmen. Kalau enggak ada komitmen yang kuat, pasti kebijakan dan program hanya dilaksanakan ketika ramai jadi perbincangan media dan publik," kata Ihsan.
Ihsan berpesan kepada Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok agar lurah wajib punya program konkret untuk perlindungan anak terutama pencegahan, agar masyarakat bisa mengontrol dan mengawasai.
ANTARA